Sekitar tiga tahun lalu Ibu berpulang.  Tepatnya pada 15 Mei 2021.  Menurut hitungan hijriah, bahkan sudah lebih dari tiga tahun.

Sepeninggal Ayah 14 Februari 1992, Ibu sering terserang asma, penyakit bawaan yang sudah lama diderita ibu.  Hal ini menyebabkan Ibu cukup sering keluar masuk rumah sakit.  Saya sudah menikah dan masih aktif kuliah, sehingga tidak dapat menunggui Ibu jika opname. 

Di akhir hayatnya, Ibu sempat menyampaikan keinginannya untuk cucu-cucu perempuannya bahwa tahun ini (2021) tiga cucu perempuannya akan menikah berurutan.  Dimulai dari mbak Ririn (putri dari mas Tavip), kemudian mbak Tia (putri dari mas Agus), dan terakhir adalah Adien (anak sulung saya).  Ibu tinggal bersama mas Agus, mbak Ellen, serta putri semata wayangnya sejak 2013 di Menganti, Gresik.

Percakapan di telepon saat Idul Fitri 1442H atau bertepatan dengan 14 Mei 2021 Masehi  yang lalu terngiang kembali.  Ibu sangat antusias sekali pergi ke Mojokerto untuk mencicipi nasi kebuli yang memang sengaja saya masak di hari raya.  Tidak begitu lama setelah bercakap di telepon, Ibu dan mbak Tia sudah sampai di Mojokerto dan dengan lahapnya Ibu bersantap nasi kebuli.  Tidak lama kemudian bakso terhidang, sekali lagi Ibu dengan lahapnya menghabiskan semangkok bakso.  Agak heran juga memperhatikan nafsu makan Ibu yang demikian besar hari itu.  Di usianya yang sudah 74 tahun, makan dengan porsi segitu adalah berlebih menurut saya.  Apalagi sebelumnya di tempat adik sepupu, sudah masuk dua porsi rujak cingur.  Tapi tak apalah pikir saya, ini kan hari raya.

Sabtu malam sekitar pukul 21, telepon masuk dari mas Agus yang mengabarkan Ibu telah meninggal dunia.  Air mata bercampur sesak di dada tetap tertahan sambil mendengarkan cerita mas Agus tentang Ibu yang meninggal dengan tenang.  Suara di seberang telepon dengan berbagai pertimbangan memutuskan Ibu dimakamkan dekat dengan Ayah di desa Tawangsari, Mojokerto.

Kerinduan pada Ibu tidak perlu waktu lama, karena saat ini adalah sulit mencari sosok Ibu tanpa ijazah tetapi mampu mendukung anak-anaknya untuk lulus sarjana. Doa Ibu yang dilangitkan  selalu untuk kesuksesan anak dan cucunya.  Ibu yang sederhana, tanpa tergiur teknologi, fesyen dan semacamnya.

Kini yang teringat dari Ibu adalah cara mendidiknya yang humble. Skill kewanitaan seperti memasak, menjahit, berdandan, dan beberes rumah adalah hal yang penting dan selalu terngiang nasehatnya. Hobi memelihara kucing, traveling, dan kuliner selalu ingin dilakukan Ibu. Hanya doa yang kini saya lakukan untuk mengenangnya. Semoga Ibu bahagia di alam kubur.

 Ilustrasi: Foto Ibu dan saya ketika acara lamaran mas Agus dan mbak Ellen di Kendari, Sultra.